LoGueEndNotes

Sebenarnya ini cerita lama. Tapi saking menjengkelkannya, aku jadi kepengen mengolok-olok budaya ini.

Udah tau sertifikat itu makhluk kayak apa kan? Pastinya iya dong. Tapi biar lebih enak, kutambahkan gambarnya.

Ini dia sertifikat yang ada di koleksiku.

[caption id="attachment_402" align="aligncenter" width="582" caption="Ini cuma becandaan. So, jangan diambil hati dan iri ke aku (keplak!)"][/caption]

Nah, itu dia yang namanya piagam. Lho, kok jadi piagam. Nggak papa, piagam sama sertifikat itu saudara dekat juga. Maksudnya, formatnya itu mirip-mirip aja, cuman piagam sebagai bentuk penghargaan atas prestasi seseorang, sedangkan sertifikat penghargaan atau "bukti bisu" bahwa seseorang pernah ikut suatu kegiatan. Bener nggak ya, tau ah.

Sebab diri ini nggak punya sertifikat dalam bentuk softcopy dan lagi males kalo harus buat dulu, makanya itu kupasang piagam tadi aja. (padahal tujuan terselubung ni orang cuman pengen narsis pake piagam).

Kita-kita orang Indonesia Raya, pastinya sudah tau dengan budaya pendidikan yang bobrok ini. Di mana seseorang dinilai kualitas otaknya berdasarkan selembar kertas harga seribuan. Sebenarnya kertas-kertas itu meliputi banyak, di antaranya; sertifikat, piagam, ijazah de-el-el.

Dan udah menjadi hal yang lumrah di kalangan guru dan mahasiswa misalnya, mereka berburu sertifikat dengan mengikuti seminar dan mereka tidur di pojokan di ruang seminar atau ngerumpi tentang kenapa spongebob warnanya kuning. Sepulang dari seminar, mereka membekali diri dengan sertifikat. Pengetahuannya? Itu urusan lain hari.

Padahal banyak di luar sana orang-orang jenius nggak bersertifikat. Mereka miskin, tidak bisa ikut seminar ataupun kegiatan pendidikan formal, tapi mereka pintar secara otodidak.

Kata teman saya, itulah Indonesia. Berbeda dengan di Eropa. Kepintaran seseorang dinilai dari kualitas omongannya dan relevan dengan tindakannya serta apa yang telah diproduksinya. Nggak tau bener apa nggak. Aku belum pernah ke Eropa sih.

I think, mungkin budaya ini akibat dari kemalasan. Sebagai ilustrasi. Seorang yang memberikan  tes masuk perusahaan tentunya tidak akan memberikan tes kepada setiap orang. Tapi hanya orang-orang yang memenuhi kriteria (aduh, aku pusing nulisnya).

Intinya kepintaran orang dilihat dari ijazahnya dan seberapa banyak sertifikat serta piagam yang dia punya. Dilihat dari situ, tentunya tu orang berpendidikan (makin punyeng aku).

Intinya lagi, budaya ini harus direhab ulang. Aku bilang direhab ya, bukan dibumihanguskan. Karena tidak sepenuhnya salah.

Actually, aku juga terjebak dengan budaya pendidikan sialan itu. Mau gimana lagi, aku orang Indonesia yang hidup di Indonesia. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Ada aja alasan untuk berbuat nggak bener.

11 Responses so far.

  1. Bentar2.... aku mau itung dulu berapa jumlah sertifikat yg aku punya.... hahaha

  2. Eh.., gimana caranya bisa jadi blogger paling keren..? hahahahahaha

  3. Aku dah punya sertifikat belum ya? *mikirlama*

  4. Sebuah kertas memang tak sepenuhnya dapat membuktikan bahwa seseorang itu pintar/tidak. Banyak faktor lain yang belum terukur utk bisa mengatakan seseorang itu pintar/tidak.

  5. Qori says:

    sertifikat adalah hasil pembayaran anda.... *best quote today...

  6. Yella says:

    Sertifikat paling berguna buat saya cuma sertifikat tanah. Lainnya cuma makanan kutu.

  7. Iya juga sih, klo ga ada sertifikat tanah,
    bakal digusur bapak" sat-pol pp.

  8. Zian X-Fly says:

    ideku ini...

  9. Kamu tu kedengarannya seperti suatu negara yang suka mengakui kebudayaan Indonesia sebagai budayanya.

Leave a Reply